- halodwyta -
Dwyta's Personal Blog
Minggu, 06 Februari 2022
Romansa Dalam Buku "This Wall Between Us"
Selasa, 12 Oktober 2021
MONALISA (ENDING)
"Tapi, Mbak, emangnya ndak papa saya ikut bantu?" ujar Pak Taryo masih dalam posisi yang sama.
"Emang kenapa, Pak? Ada orang pingsan masa nggak mau bantu?" sahut Fia emosi pada orang-orang ini.
Tanpa pikir panjang lagi Pak Taryo menghampiri mereka yang hanya berjarak kurang dari tiga meter.
Kali ini, ketiganya mencoba mengambil posisi masing-masing untuk mengangkat tubuh Mona.
Percobaan pertama, gagal. Percobaan kedua pun masih saja gagal.
"Sekali lagi," ujar Fia, berusaha mengeluarkan seluruh tenaganya.
Nihil. Bahkan tubuh gadis itu tak berpindah sedikit pun dari tempat asalnya.
"Wah, ada yang ndak beres ini, Mbak. Ndak mungkin manusia biasa bisa seberat itu," kritik Pak Taryo.
Gemerincing bunyi kunci yang saling bertautan selalu terdengar setiap kali beliau menggerakkan badannya.
"Aneh," ujar Nana ngos-ngosan, berusaha mengatur napasnya yang seperti habis berlari kencang.
Begitu pula Fia. Sembari berkacak pinggang, ia mencoba menirukan Nana, mengatur napas yang mulai tak terkendali.
"Harus gimana?" tanya Fia dengan nada bicara naik-turun.
Langit kini sudah sepenuhnya gelap. Tak satupun jua penghuni kos lainnya berniat memberikan bantuan.
"Sekali lagi, mau?" ajak Fia pada Nana dan Pak Taryo yang mengiyakan dengan setengah hati.
"Hitungan ketiga, angkat, ya! Satu… dua… tiga... ,"
Tubuh Mona tetap menolak untuk di angkat.
Sedetik kemudian, Mona membuka matanya. Dalam posisi duduk ia bersandar pada tembok di dekatnya.
Fia membantunya, menopang badannya yang masih terasa sangat berat. Monalisa tak henti memandang ke arah Pak Taryo yang seolah salah tingkah.
Tatapannya begitu tajam dan penuh kebencian.
"Kamu jahat Mas Taryo!" teriak Mona. Lagi-lagi membuat kegaduhan di kos.
Mona masih memandangi lelaki paruh baya itu sambil menunjuk-nunjuk wajahnya yang kebingungan.
Tak kalah bingung dengan Fia dan Nana.
"Kamu bikin aku menderita, Mas, Taryo. Jahat pean, Mas," ujar Mona, seolah bukan dirinya.
Fia melepaskan pegangannya pada Mona, sedikit bergidik ngeri. Begitupun Nana yang langsung menghampiri Fia dan menariknya menjauh, sedikit berjarak dengan Mona.
"Salahku ki opo, Mas? Tega-teganya pean nglarani atiku,"
Sejak kapan Monalisa berbicara dalam bahasa Jawa? Bulu kuduk Fia berhasil bergidik ngeri menyaksikan hal tersebut.
Sedangkan lelaki yang jadi tertuduh itu hanya diam, mencoba mencerna kenyataan di hadapannya.
ARRRRGGGGHH…
Untuk kesekian kalinya Mona menjerit.
Kali ini, Bu Nensi, pemilik rumah kos pun ikut hadir atas laporan seseorang. Beliau membawa beberapa orang yang paham dengan hal-hal tak masuk akal ini.
"Fia, tolong. Selamatkan aku!" kali ini Mona berbicara dengan nada suara yang jauh berbeda. Menatap penuh arti pada Fia.
Fia tak mampu berkutik.
"Kamu hampir berhasil menyelamatkanku saat itu, Fiaaaa.. Toloong,"
Deg.
Fia dan Mona masing-masing kehilangan kesadarannya.
Pak Taryo tak mampu lagi mengelak. Seolah ada yang memaksanya untuk mengakui perbuatannya saat itu juga. Ia tertunduk lesu sembari menangis. Semakin menambah keresahan para penghuni kos lainnya.
"Maafkan aku, Ratih. Aku ndak sengaja melakukan itu," ujar Pak Taryo lirih.
Ketiga orang bawaan Bu Nensi langsung mengamankannya.
Beberapa orang lainnya menggotong Fia dan Mona ke dalam kamar Mona yang kental dengan aura magisnya pula.
Tak ada yang berani berlama-lama di sana. Hanya Nana yang kini melawan rasa takutnya demi menjaga Fia.
Sementara itu di luar kamar, Pak Taryo menceritakan sebuah rahasia kelam dirinya, yang hampir saja terbongkar akibat ulah Fia.
***
"Fia… Fi, kamu udah sadar," ujar Nana bersyukur.
Si pemilik kamar tersebut sudah sadar terlebih dahulu dan telah menjelaskan segala yang ia tahu pada Nana.
"Mbak Fia, ini minum dulu," Mona memberikan segelas minuman hangat padanya.
Dengan bantuan Nana, Fia bangun dan menyeruput sedikit minuman yang diracik sendiri oleh Mona.
"Apa ini?" tanya Fia merasa aneh dengan minumannya.
"Itu campuran jahe, bunga melati, dan minyak rahasia khas Kalimantan, Mbak. Biar bisa menghilangkan yang nempel-nempel di badan Mbak Fia," ujarnya.
Fia masih mencerna maksud perkataan Mona.
"Diminum, Mbak. Biar seger lagi. Nanti, lebam-lebamnya perlahan bakalan ilang,"
Fia segera mengamati sekujur tubuhnya yang baru ia sadari telah tergambar tanda-tanda khas dengan warna jingga dari kunyit.
"Fi, tadi goloknya beneran terbang," bisik Nana mengundang senyum pada Mona.
"Berarti Mbak Nana juga harus diobatin,"
"Eh, mmmm, iya deh, daripada aneh-aneh lagi nanti," ucapnya pasrah.
"Ada apa sebenernya?" tanya Fia yang masih kebingungan.
"Mbak Fia pernah nemuin kotak kayu yang terbungkus kain merah, dikubur di halaman kos depan?" tanya Mona, membuat Fia kembali merangkai-rangkai ingatannya.
"Ah! Seminggu yang lalu, waktu mau berkebun, aku nemuin kotak itu. Apa itu?"
"Itu yang bikin Mbak Fia diganggu. Termasuk lebam-lebam itu,"
"Maksudnya?"
"Pak Taryo udah mengakui tadi, dulu dia pernah suka sama salah satu anak kos di sini. Dulu, udah lama banget," jelas Mona.
Fia mendengarkan dengan serius.
"Namanya Ratih. Dia nggak suka. Lalu entah gimana, Pak Taryo melet dia. Kotak kayu dengan bungkusan kain merah itu, isinya foto dan beberapa benda pribadi milik Ratih,"
"Astagfirullah…"
"Ratih yang tergila-gila sama Pak Taryo lalu dinodai sama Pak Taryo. Karena takut ketahuan dan nggak mau tanggung jawab, dia khilaf… Mayat Ratih dibuang ke hutan,"
"Hmmm, lalu, sekarang?"
"Pak Taryo udah diamankan polisi,"
"Terus, apa hubungannya sama kamu? Aku?"
"Pak Taryo takut kamu ngebongkar semua aib dia. Lalu, dia sengaja minta orang buat ganggu kamu, gitu, Mbak,"
"Kok kamu bisa tau?"
"Sejak awal aku udah tau. Tapi orang-orang justru mikir kalo aku aneh, kan?" Mona melirik pada Nana yang tersipu.
"Trus kenapa kamu teriak-teriak tadi?" di dalam otak Fia masih terlalu banyak pertanyaan yang berkecamuk.
"Berantem,"
"Buset," sahut Nana mengerti arah pembicaraannya.
"Sini, mbak. Giliran Mbak Nana," ujar Mona yang sudah menyiapkan beberapa peralatan.
Dengan takut-takut, Nana mendekatinya.
"Duduk, santai aja, ya," pinta Mona sembari menyalakan bebakaran di dalam sebuah tungku khusus. Bau wewangian aneh langsung menyeruak ke seluruh ruangan.
(Sumber : pixabay.com)"Mbak Fia, apapun yang mbak lihat, cukup diam aja, ya. Jangan teriak, jangan ditahan, jangan dilawan. Diam,"
"O-oke," ucapnya tergagap.
Monalisa kembali memulai ritualnya pada Nana. Menumbuk halus potongan kunyit, kapur sirih serta daun bidara.
Fia melihatnya merapalkan doa-doa, lalu mengoles beberapa bagian tubuh Nana dengan tumbukan kunyit tadi. Terutama pada bagian telapak tangan dan kaki.
Akhirnya, Fia dapat menyaksikan secara langsung sebuah golok yang tiba-tiba melayang di udara begitu saja.
"Hah? Kok, bisa lihat lagi? Berarti aku?"
----- TAMAT -----
Senin, 11 Oktober 2021
Monalisa (Part 6)
"Mbak Fia bisa lihat," ujar Mona yakin, sekali lagi menyuapkan sekuntum kembang melati ke arah mulutnya.
"Maksudnya?"
"Mbak, harusnya mbak Fia juga diobatin. Coba deh liat lebam-lebamnya," ujar Mona yakin.
"Loh, kok kamu tau?" terbesit perasaan heran sekaligus takut pada gadis di hadapannya saat itu.
"Nggak ada yang bisa liat keanehan saat proses ritual, kecuali dia yang juga sedang 'sakit', Mbak," jelas Mona.
"Sakit, sakit gimana maksudnya?"
"Nggak mungkin tiba-tiba ada lebam di sekujur tubuh, kalau nggak ada sebabnya. Mbak Fia habis jatuh?"
"Nggak,"
"Dipukulin pacar?"
"Nggak, lah,"
"Lalu, lebamnya kenapa?"
"Y-yaa, aku juga bingung kenapa. Tiba-tiba aja bangun tidur udah begini," jelas Fia.
Banyak mata memerhatikan mereka dari kejauhan. Terlalu takut untuk mendekat, namun terlalu penasaran untuk menjauh.
"Pasti gegara nolak oleh-oleh dari kamu lah, Mon," Nana mulai memberanikan diri menimpali.
"Oleh-oleh?" Mona seolah tak paham.
"Kue," balas Fia, tak mau langsung mengambil kesimpulan.
"Hah? Wadai lapat itu?" Mona kembali bertanya, raut wajahnya melukiskan kebingungan yang besar.
"Iya, pasti, kan?" ujar Nana yakin.
"Iya kan, Fi? 4 hari berturut-turut setelahnya, Fia selalu dapet gangguan aneh. Nggak biasanya juga kosan kita jadi menyeramkan kayak gini," celoteh Nana meminta pembenaran dari Fia yang memilih diam.
"Mmm, apa hubungannya sama oleh-oleh yang aku bawa, Mbak?" ujar Mona tak terima.
Nana melirik Fia, menandakan ingin meminta bantuannya. Namun Fia tetap hanya mematung. Dalam benaknya, ia sedang mencerna tiap-tiap kejadian yang ia alami beberapa hari belakangan.
"Fi," teriak Nana berusaha mengembalikan kesadaran Fia yang justru terlihat seperti melamun.
Fia tetap melamun. Matanya tak terpejam, hanya saja ia seolah mematung tanpa pergerakan sedikit pun.
"Fi, Fia!" Nana mulai ketakutan. Diguncang-guncangkannya perlahan kedua bahu kawannya itu.
Seketika itu pula Fia seolah tersadar, lemas. Nana dan Mona langsung sigap menangkapnya.
"Fi, kamu kenapa?" Nana kebingungan melihat keadaan Fia yang begitu lemah.
Banyak mata memandang, namun tak satupun mereka yang datang membantu.
Keanehan semakin bertambah saat kejadian serupa beralih pada Mona. Seolah penyakit menular, Mona menatap Fia dengan tatapan kosong dalam beberapa detik. Lalu jatuh, tersungkur di lantai.
Nana tak cukup berani bahkan untuk memegangnya saja.
Fia, yang mulai mendapatkan kesadarannya secara penuh, perlahan melihat keadaan Mona.
"Pingsan," ujarnya.
"Ayo dong, ini nggak ada yang mau bantuin?" Fia berteriak kesal melihat para penghuni kos yang seolah tak punya rasa iba pada Mona yang tersungkur di lantai.
Fia berusaha mengangkatnya seorang diri. Berat sekali.
"Na, ayo. Kamu juga nggak mau bantu?" tanya Fia pada kawannya yang hanya diam memandangi.
"Ta-tapi, Fi…"
"Udah, nggak usah takut. Kasian ini. Ayo bantu angkat ke kamarnya,"
"Ke kamarnya, Fi?" Nana mengernyitkan dahi, tak ingin mendapati kenyataan bahwa dirinya mau tak mau harus memasuki kamar yang dianggapnya mengerikan itu.
"Ayo, Na!"
Benar saja, Nana tak mampu menolak. Ia membantu Fia untuk mencoba membopong badan Mona ke dalam kamar.
Untuk ukuran gadis sekurus Mona, berat yang dirasakan Fia dan Nana sungguh tidak masuk akal. Berkali-kali lipat berat normal manusia.
Keduanya tak berhasil mengangkat tubuh Mona yang masih terkapar di lantai.
"Serius ini, manusia sebanyak ini nggak ada yang mau bantu satu pun?" lagi-lagi Fia berteriak marah pada penghuni lain yang hanya menyaksikan dari jendela kamar masing-masing.
Meskipun berusaha ditutup-tutupi, namun terlihat cukup jelas bahwa mereka masih saja mengamati.
"Pak, ayo bantu. Kok juga diem aja dari tadi?" Kini Fia beralih pada Pak Taryo yang hanya diam mengamati, ia berdiri di anak tangga sejak tadi. Gantungan dengan beberapa kunci pun masih digenggamnya erat.
----- BERSAMBUNG -----
Minggu, 10 Oktober 2021
MONALISA (part 5)
"Oh, kalau di Kalimantan namanya bapidara," sahut gadis itu masih menjadi pusat perhatian.
Semua netra terpaku pada gadis misterius itu.
"Apa itu?" tanya Fia lagi.
"Mm, Mbak, aku harus salat magrib dulu. Nanti aku jelasin, ya," sahut Mona yang sama sekali tak memedulikan gerombolan orang yang berdiri di depan kamarnya dengan penuh tanda tanya.
"Oke, aku tunggu selesai magrib," sahut Fia.
Mona menunduk lemah, menutup kembali kamarnya dari luar, lalu berjalan ke kamar mandi untuk berwudu.
Para penghuni kos yang berkumpul di lorong sempit di depan kamarnya, dengan perasaan takut dan aneh memberi jalan pada Mona.
Mona tersenyum, ingin menyapa. Namun dibalas teriakan ketakutan dari semuanya yang langsung berhamburan pergi.
Hanya tersisa Fia yang sengaja menunggunya di depan kamar.
Fia merasakan angin yang begitu dingin saat Mona kembali, dan lewat di hadapannya. Berhasil membuatnya bergidik. Ditambah lagi wangi aroma melati semerbak muncul dan menghilang lagi secara tiba-tiba.
Fia membiarkan Mona kembali masuk ke kamarnya tanpa sapa, lalu kembali duduk, menunggu Mona kembali menghampirinya.
"Fi, serius berani?" Nana baru saja berani mendekat, setelah Mona kembali ke kamarnya sedetik lalu.
"Udah nanggung, kan? Tadi aku liat hal yang ganjil banget di kamarnya," bisik Fia pada kalimat terakhir.
"Apa?" tanya Nana dengan rasa takut, namun juga sangat penasaran.
"Aku udah rekam, tapi pas jatuh tadi, tiba-tiba aja filenya nggak bisa kebuka. Aneh banget," jelas Shani.
"Emang ada apaan?"
"Dia ngewarnain tangan, kaki dan jidatnya itu sambil baca-baca semacam doa. Entah apa. Lalu tau nggak, dia naruh golok di…"
"Mbak, masih mau di luar aja?" suara Mona membuyarkan obrolan Fia dan Nana.
Keduanya bahkan tak menyadari kapan perempuan itu muncul.
Fia melirik Nana, menanyakan pendapat. Dibalas gelengan kepala sambil sesekali melirik ke arah Mona.
"Masuk, yuk!" ajak Monalisa pada keduanya.
Lagi-lagi Nana menggeleng, namun dengan maksud agar Fia tak menuruti ajakan Mona tadi.
"Di sini aja, Mon,"
"Oke," penampilannya saat ini jauh lebih baik dari pada tadi.
"Pertama, kenapa tadi teriak-teriak bikin panik semua orang? Kedua, kamu ngapain aja sih, di kamar?" Fia, sebagai salah satu penghuni senior rumah kos merasa perlu menjadi penyambung lidah bagi anak-anak yang lain.
Mona tersenyum, sembari memejamkan matanya.
"Mbak Fia lagi halangan?" ujarnya, justru menanyakan hal lain.
"Iya, kenapa?"
Mona menggeleng, tetap dengan senyuman. Kali ini disertai dengan tatapan yang mampu menakutkan setiap orang yang melihatnya.
"Kamu sadar, Mon, kamu tadi itu udah bikin panik semua orang?"
Mona mengambil sejumput kembang melati di dalam mangkuk yang ia bawa. Mengambilnya sekuntum, dan memakannya dengan begitu lahap.
Nana dan Fia lagi-lagi saling memandang saat melihat di depan matanya sendiri Monalisa yang sedang asik mengunyah kembang melatinya.
"Mon," panggil Fia lagi.
"Ini, cuma salah satu pengobatan tradisional di Kalimantan, Mbak. Kami percaya, campuran kunyit, kapur sirih dan daun bidara ini bisa menyembuhkan penyakit yang berasal dari dunia lain," jelas Mona sambil memamerkan telapak tangannya yang berwarna jingga.
"Dunia gaib?" tembak Fia.
Mona mengangguk.
Nana semakin erat mengaitkan lengannya Pada Fia. Merasa ketakutan.
"Lalu, kenapa teriak-teriak? Kenapa tadi bisa ada golok terbang?"
"Hah?" Nana tak percaya mendengar kalimat terakhir Fia.
"Mbak Fia bisa lihat," ujar Mona yakin, sekali lagi menyuapkan sekuntum kembang melati ke arah mulutnya.
"Maksudnya?"
----- BERSAMBUNG -----
Sabtu, 09 Oktober 2021
MONALISA (Part 4) Kapidaraan
Aaaaarrgh!
Sebuah teriakan cukup kencang terdengar dari arah kamar Mona. Tepat ketika Fia berdiri di depan kamar itu.
Tak ada pilihan lain selain mencoba mencari tahu apa yang terjadi di dalam kamar itu. Karena takut terjadi sesuatu hal yang buruk, Fia memutuskan untuk mengetuk pintu kamar tersebut dan menanyakan apa yang terjadi.
Tak ada jawaban lain selain suara teriakan dari arah dalam.
Tak hanya Fia yang kini berkumpul di depan kamar nomor 13 itu. Semuanya berebut ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi di dalam kamar sana.
Fia mencoba membuka paksa pintu kamar Mona. Memanggil-manggil si penghuni kamar tanpa ada jawaban yang berarti. Hanya ada teriakan-teriakan yang semakin membahana.
Fia mendapat ide untuk mengintip dari jendela kecil di atas pintu. Segera ia menarik sebuah kursi dari dapur umum di dekat kulkas, menuju ke depan pintu kamar Mona. Ia menaiki kursi itu perlahan.
Ia masih harus berjinjit untuk bisa melihat dengan jelas keadaan di dalam. Beberapa penghuni kos yang penasaran mencoba mengintip melalui jendela yang tertutup rapat oleh gorden berwarna putih.
Dari atas sana, Fia dapat melihat dengan jelas keadaan Mona. Ia terbelalak kaget. Tak mampu diterima oleh nalarnya, kejadian yang ia saksikan saat itu sungguh ganjil.
"Fi, gimana, Fi?"
"Fi, ada apa?"
"Gantian nonton, Fi!"
Ujar beberapa kawan yang juga penasaran. Apalagi setelah melihat ekspresi Fia yang berubah aneh setelah mengintip ke dalam.
Fia mencoba merekam kejadian aneh tersebut dengan ponselnya. Sedikit kesulitan, karena harus berjinjit sembari menjaga keseimbangan.
"Hah?" di tengah-tengah kegiatannya tadi, Fia seolah terkejut, lalu kehilangan keseimbangan.
BRAK!
Ia terjatuh bersamaan dengan suara erangan yang semakin kencang dari dalam kamar.
Pak Taryo, penjaga kos, sudah datang atas laporan salah seorang penghuni kos. Beliau membawa gantungan berisi beberapa kunci duplikat di rumah kos yang cukup besar ini.
Usaha beliau untuk membuka pintu dengan kunci duplikat gagal total. Kepanikan semakin mengular ketika teriakan demi teriakan dari dalam kamar pun tak juga menghilang.
Fia mendapat luka kecil di pelipis kirinya akibat jatuh tadi. Dan hingga detik ini, ia masih tak percaya dengan apa yang ia lihat sendiri di kamar itu.
Bahkan yang membuat semakin ganjil, video yang jelas-jelas terekam di ponselnya tadi tak dapat diputar sama sekali. Entah apa penyebabnya.
Orang-orang masih berusaha membuka paksa pintu kamar nomor 13 itu. Tak ada satupun yang berhasil.
Tepat ketika azan magrib berkumandang, pintu terbuka dengan sendirinya. Semua yang tadinya penasaran ingin tahu, kini berebut mencari tempat untuk mundur dan berlindung.
"Ada apa, ya?" tanya Mona yang muncul dari balik pintu tanpa rasa bersalah sama sekali.
Fia berdiri. Tak mau kalah cepat dari yang lainnya, ia langsung menghampiri gadis itu.
"Apa sebenernya yang lagi kamu lakuin, Mon?" teriak Fia, sedikit emosi.
"A-aku… aku nggak ngerti, Mbak,"
Monalisa menjadi sorotan setiap mata, tepat sesaat setelah ia menunjukkan diri dari balik pintu.
Rambut hitam panjangnya digerai tak beraturan. Manik matanya terlihat pucat dan sayu. Keringat sebesar biji jagung pun masih mengalir deras dari keningnya. Menandakan ia telah melakukan kegiatan yang melelahkan.
Yang paling mencolok darinya adalah, hampir di sekujur tubuh kurusnya yang tak tertutup baju, dipoles dengan sesuatu yang berwarna kuning mendekati jingga. Persis seperti yang pernah Fia lihat sebelumnya.
(Sumber : facebook.com/@amirza)"Ini maksudnya kenapa?" tanya Fia lagi, menunjuk-nunjuk bagian tubuh Mona yang berwarna jingga tadi.
"Oh, kalau di Kalimantan namanya bapidara," sahut gadis itu masih menjadi pusat perhatian.
Semua netra terpaku pada gadis misterius itu.
"Apa itu?" tanya Fia lagi.
Jumat, 08 Oktober 2021
MONALISA (Part 3) Wadai Lapat
"Apa?"
Fia berjalan menghampiri Nana yang ketakutan.
"Kenapa, sih?" tanya Fia lagi, heran melihat tingkah kawannya itu.
"Anak baru di samping kamarmu itu, siapa namanya,"
"Mona,"
"Sssst,, iya, Mona," sambung Nana penuh semangat, namun dengan setengah berbisik.
"Duh, kamu harus lebih hati-hati lagi, Fi, sama dia. Serem anaknya, kemarin pas Lara lewat depan kamarnya, dia nyium bau-bau kemenyan. Dan dia liat sendiri dong si Mona makan kembang melati, hiiiii," Nana bergidik ngeri.
Ucapannya mengingatkan Fia pada sore hari yang lalu. Hari dimana ia membukakan pintu gerbang untuk Mona.
"Makan kembang?" Fia bertanya sambil pikirannya masih mengawang-awang.
Nana mengangguk kencang, "Kemarin, kan, dia bawain oleh-oleh gitu. Katanya dari Kalimantan, kue apa ya namanya, lupa,"
"Lapat," sambung Fia, mengingat pula kejadian itu.
"Nah, bener. Lapat. Kamu cobain kuenya, Fi?" Nana menanyakan masih dengan bersemangat.
Fia menggeleng. Disambut dengan pekikan kencang namun tertahan, oleh Nana.
"Fiaaaaa, serius kamu nggak cicipin? Megang juga nggak?"
"No. Emang kenapa?"
"Pantesan dari 4 hari yang lalu kamu diganggu terus, kan?" Nana menyimpulkan kejadian ini dengan telepon tengah malam Fia empat hari belakangan.
Fia mematung. Mencoba mencerna keterkaitan antara kue lapat yang ditolaknya, dengan gangguan-gangguan aneh yang selama empat hari ini cukup mengganggunya.
"Nggak ada hubungannya, Na. Dah lah, udah buru-buru, nih! Daaaah," Fia berlalu. Tak dipedulikannya teriakan Nana memanggil.
Baginya, hal yang diutarakan Nana sangat tidak masuk akal. Fia menolak bahwa kegiatan memakan kembang pada Mona adalah hal yang aneh. Atau, entahlah. Tapi ia yakin, tak ada kaitannya dengan keanehan yang ia rasakan akhir-akhir ini.
-----
Hampir dua jam Fia berada di ruangan dosen pembimbing. Jangan ditanya, seberapa tebal coret-coretan yang dihadiahkan dosennya kepada Fia.
Ia duduk di sebuah bangku kosong di dalam Perpustakaan Universitas, lalu langsung menekuni laptopnya. Sekilas, ia mendapati Mona di dalam perpustakaan yang sama, sedang sibuk menimbang-nimbang dua buah buku.
Fia mengurungkan niatnya untuk menghampiri gadis itu setelah ia mengingat kembali perkataan Nana tadi siang. Jemarinya langsung berlompatan pada keyboard di laptopnya. Menelusuri tentang kue lapat.
Pencarian teratas yang muncul adalah mengenai mitos seputar wadai Banjar.
Wadai, atau kue lapat yang disuguhkan Mona pada kawan-kawan satu kosnya yang lalu adalah kudapan yang terbuat dari ketan, santan, dengan isian kacang merah. Persis dengan jajanan pasar, lepet jika di Surabaya.
(Sumber : food.detik.com)Fia mengingat-ingat kembali bentuk kue tersebut, mencocokkannya pada gambar yang dimaksud. Klop! Kue yang terbalut daun nipah atau daun pandan besar yang ia telusuri saat itu persis seperti oleh-oleh yang dibawakan Mona. Pun serupa dengan kue lepet yang selama ini ia kenal.
Mungkin, yang membedakannya adalah mitos yang dibawanya. Menurut kepercayaan di Kalimantan, unsur ketan di dalam wadai lapat ini mengandung pamali yang besar. Jika ada seseorang yang menolak mencicipi saat ditawari, bisa terkena sial seperti kecelakaan atau luka. sana, pamali ini dikenal juga dengan nama kapuhunan.
Fia tercekat, mengetahui fakta yang baru saja ia dapat. Benarkah?
Ditariknya sedikit lengan baju panjang yang menutupi lebam di bagian tangannya. Apa benar luka itu akibat dari dirinya yang menolak saat ditawari wadai lapat?
Pandangannya beralih dari lebam di tangan, kemudian pada Mona yang masih belum beranjak dari tempat tadi.
Sulit baginya untuk mempercayai hal demikian. Tapi, kalau bukan gara-gara itu, lalu kenapa banyak lebam berwarna biru keunguan pada hampir sekujur tubuhnya?
Fia melupakan revisinya. Beralih penasaran pada apa yang menimpa dirinya saat itu. Apa mungkin, bisa muncul luka lebam secara tiba-tiba saja di sekujur tubuh?
----- BERSAMBUNG -----
Kamis, 07 Oktober 2021
MONALISA (Part 2)
(Part 2)
Fia terbangun dengan rasa lelah yang begitu nyata. Perlahan matanya mencoba mencerna satu demi satu kejadian yang terjadi sebelumnya. Hingga akhirnya ia terlelap, dan baru mendapatkan kesadarannya lagi tepat di tengah malam ini.
Nyeri terasa di sekujur tubuhnya. Sesaat setelah ia mampu mendapatkan kesadarannya, dipandanginya kedua lengan yang terasa nyeri. Lalu pindah ke kaki, wajah, dan hampir setiap jengkal tubuhnya begitu terasa menyakitkan. Seberkas tanda biru lebam menghiasi di bagian lengan kanannya.
Segera Fia turun dari kasurnya dan berlari menuju cermin di sudut kamarnya. Tak lupa ia menyalakan lampu kamar untuk mendapat penerangan yang jauh lebih sempurna kala itu.
Diusapnya lembut bagian bawah bibir sebelah kiri sembari memandangi dirinya yang lain pada cermin besar di hadapan.
"Kenapa, nih?" ucapnya pada diri sendiri.
Tanda biru yang juga muncul di bagian wajah.
"Aw.." pekiknya kesakitan.
Pukul 00.24 menit.
Demi memuaskan rasa penasarannya, Fia berjalan kembali menuju kasurnya. Lalu duduk dan kembali mengamati beberapa lebam di tubuhnya, pun dengan rasa sakit yang menyertainya.
Tangan kanannya menjangkau gawai yang tergeletak di pojok atas kasur. Mencoba mencari-cari tanda yang mungkin saja sempat terekam di ponsel pintar itu. Ekor matanya pun awas, menekuni setiap sudut kamar yang hanya berukuran 3x3 m.
Nihil. Tak ada tanda aneh yang mungkin telah terjadi padanya. Namun, darimana datangnya lebam di sekujur tubuh itu?
Barang berharga yang ia miliki di kamar pun masih tersimpan, sempurna di tempat asalnya.
"Na, kamu di mana?" tanya fia sedetik setelah panggilan teleponnya diangkat.
"Apaan, sih, Fi? Harus jam segini banget telponnya? Ngantuk, tau!" ujar perempuan di dalam panggilan.
"Kosan aman, Na? Maksudnya, nggak ada pencuri atau gimana, gitu, kan?"
"Hah? Apaan, sih? Mimpi ya?"
"Beneran, Na,"
"Aman Fia. Udah deh, balik tidur lagi sana. Ini udah hari ke 4 kamu selalu telpon di tengah malam gini, lama-lama aku blokir nomormu!" ancam perempuan itu merasa terganggu.
"Hah? Hari ke 4?"
"Ah, udah-udah. Ngantuk, adem. Bye Fia. Jangan lupa baca doa sebelum tidur, tuh!"
Perempuan itu memutuskan panggilannya begitu saja. Menyisakan Fia yang kebingungan.
Sekali lagi ia memeriksa ponselnya. Panggilan keluar di jam yang sama. Benar-benar terjadi 4 hari berturut-turut.
Apa-apaan ini? Bahkan Fia sendiri tak pernah menyadari kejadian panggilan telpon tersebut. Apa mungkin, ia mengalami gangguan tidur? Sleepwalking?
Netranya beralih pada laptop yang masih menyala. Tergeletak di meja belajarnya, menampilkan skripsi yang harusnya ia revisi tadi sore.
Ya! Fia mengingat kejadian tadi sore. Ia membukakan pintu untuk Mona, lalu tiba-tiba saja ia merasa sangat lelap.
Kali ini, Fia kembali menuliskan sesuatu di catatan ponsel pintarnya.
Malam ini, aku terbangun dengan banyak lebam di sekujur tubuh. Sakit. Dan aku bingung, apa yang sebenarnya terjadi? Nana bilang, sudah 4 hari aku menelponnya di waktu yang sama. Tengah malam. Sebenarnya aku kenapa? Firasatku bilang, ada yang aneh tentang Mona. Ya! Gadis itu aneh sekali. Aku harus berhati-hati padanya.
Setidaknya, ia merasa jauh lebih aman sekarang. Ia sudah punya catatan tentang hari ini.
----
."Fii.. Fia!! Gawat, Fi," teriak Nana siang itu, kala mendapati Fia yang baru saja keluar dari kamarnya.
Fia hanya melirik sekenanya, melanjutkan mengunci pintu kamarnya dan bersiap akan pergi ke kampus.
"Gawat apaan?" tanya Fia, malas. Sejujurnya, ia masih merasa begitu letih dan nyeri pada tubuhnya.
Ia berusaha menutupi lebam di wajah dengan polesan make up yang jauh lebih heboh dari Fia yang biasanya.
"Ssst, jangan ngomongin di sini," sahut Nana, meletakkan jari telunjuknya tepat di depan hidung.
"Apaan, sih?" Fia sedang terburu-buru saat ini. Ia sudah membuat janji dengan dosen pembimbing skripsinya untuk siang ini.
"Sssstt, jangan di sini. Tapi, penting banget!! Serius!" bisik Nana, masih berada di tempat asalnya berdiri sejak tadi.
Fia melangkah menghampiri Nana yang berdiri di samping kulkas milik bersama di rumah kos itu.
"Apa?"
----- BERSAMBUNG -----
Featured Post
Romansa Dalam Buku "This Wall Between Us"
Menyambut tantangan membaca buku bergenre fiksi romance di minggu ini dengan memilih buku berjudul This Wall Between Us, karya I...
-
Pernah dengar nggak, sih, kalau orang Indonesia itu adalah satu-satunya bangsa yang tidur pakai guling. Nggak ada tandingannya di negara lai...
-
(Part 1) "Ciyee beli kembang melati banyak amat. Mau mandi kembang?" tanya Fia sesaat setelah membukakan pintu gerbang...
-
(Part 2) Fia terbangun dengan rasa lelah yang begitu nyata. Perlahan matanya mencoba mencerna satu demi satu kejadian yang terjadi sebelumny...