(Part 2)
Fia terbangun dengan rasa lelah yang begitu nyata. Perlahan matanya mencoba mencerna satu demi satu kejadian yang terjadi sebelumnya. Hingga akhirnya ia terlelap, dan baru mendapatkan kesadarannya lagi tepat di tengah malam ini.
Nyeri terasa di sekujur tubuhnya. Sesaat setelah ia mampu mendapatkan kesadarannya, dipandanginya kedua lengan yang terasa nyeri. Lalu pindah ke kaki, wajah, dan hampir setiap jengkal tubuhnya begitu terasa menyakitkan. Seberkas tanda biru lebam menghiasi di bagian lengan kanannya.
Segera Fia turun dari kasurnya dan berlari menuju cermin di sudut kamarnya. Tak lupa ia menyalakan lampu kamar untuk mendapat penerangan yang jauh lebih sempurna kala itu.
Diusapnya lembut bagian bawah bibir sebelah kiri sembari memandangi dirinya yang lain pada cermin besar di hadapan.
"Kenapa, nih?" ucapnya pada diri sendiri.
Tanda biru yang juga muncul di bagian wajah.
"Aw.." pekiknya kesakitan.
Pukul 00.24 menit.
Demi memuaskan rasa penasarannya, Fia berjalan kembali menuju kasurnya. Lalu duduk dan kembali mengamati beberapa lebam di tubuhnya, pun dengan rasa sakit yang menyertainya.
Tangan kanannya menjangkau gawai yang tergeletak di pojok atas kasur. Mencoba mencari-cari tanda yang mungkin saja sempat terekam di ponsel pintar itu. Ekor matanya pun awas, menekuni setiap sudut kamar yang hanya berukuran 3x3 m.
Nihil. Tak ada tanda aneh yang mungkin telah terjadi padanya. Namun, darimana datangnya lebam di sekujur tubuh itu?
Barang berharga yang ia miliki di kamar pun masih tersimpan, sempurna di tempat asalnya.
"Na, kamu di mana?" tanya fia sedetik setelah panggilan teleponnya diangkat.
"Apaan, sih, Fi? Harus jam segini banget telponnya? Ngantuk, tau!" ujar perempuan di dalam panggilan.
"Kosan aman, Na? Maksudnya, nggak ada pencuri atau gimana, gitu, kan?"
"Hah? Apaan, sih? Mimpi ya?"
"Beneran, Na,"
"Aman Fia. Udah deh, balik tidur lagi sana. Ini udah hari ke 4 kamu selalu telpon di tengah malam gini, lama-lama aku blokir nomormu!" ancam perempuan itu merasa terganggu.
"Hah? Hari ke 4?"
"Ah, udah-udah. Ngantuk, adem. Bye Fia. Jangan lupa baca doa sebelum tidur, tuh!"
Perempuan itu memutuskan panggilannya begitu saja. Menyisakan Fia yang kebingungan.
Sekali lagi ia memeriksa ponselnya. Panggilan keluar di jam yang sama. Benar-benar terjadi 4 hari berturut-turut.
Apa-apaan ini? Bahkan Fia sendiri tak pernah menyadari kejadian panggilan telpon tersebut. Apa mungkin, ia mengalami gangguan tidur? Sleepwalking?
Netranya beralih pada laptop yang masih menyala. Tergeletak di meja belajarnya, menampilkan skripsi yang harusnya ia revisi tadi sore.
Ya! Fia mengingat kejadian tadi sore. Ia membukakan pintu untuk Mona, lalu tiba-tiba saja ia merasa sangat lelap.
Kali ini, Fia kembali menuliskan sesuatu di catatan ponsel pintarnya.
Malam ini, aku terbangun dengan banyak lebam di sekujur tubuh. Sakit. Dan aku bingung, apa yang sebenarnya terjadi? Nana bilang, sudah 4 hari aku menelponnya di waktu yang sama. Tengah malam. Sebenarnya aku kenapa? Firasatku bilang, ada yang aneh tentang Mona. Ya! Gadis itu aneh sekali. Aku harus berhati-hati padanya.
Setidaknya, ia merasa jauh lebih aman sekarang. Ia sudah punya catatan tentang hari ini.
----
."Fii.. Fia!! Gawat, Fi," teriak Nana siang itu, kala mendapati Fia yang baru saja keluar dari kamarnya.
Fia hanya melirik sekenanya, melanjutkan mengunci pintu kamarnya dan bersiap akan pergi ke kampus.
"Gawat apaan?" tanya Fia, malas. Sejujurnya, ia masih merasa begitu letih dan nyeri pada tubuhnya.
Ia berusaha menutupi lebam di wajah dengan polesan make up yang jauh lebih heboh dari Fia yang biasanya.
"Ssst, jangan ngomongin di sini," sahut Nana, meletakkan jari telunjuknya tepat di depan hidung.
"Apaan, sih?" Fia sedang terburu-buru saat ini. Ia sudah membuat janji dengan dosen pembimbing skripsinya untuk siang ini.
"Sssstt, jangan di sini. Tapi, penting banget!! Serius!" bisik Nana, masih berada di tempat asalnya berdiri sejak tadi.
Fia melangkah menghampiri Nana yang berdiri di samping kulkas milik bersama di rumah kos itu.
"Apa?"
----- BERSAMBUNG -----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar