"Tapi, Mbak, emangnya ndak papa saya ikut bantu?" ujar Pak Taryo masih dalam posisi yang sama.
"Emang kenapa, Pak? Ada orang pingsan masa nggak mau bantu?" sahut Fia emosi pada orang-orang ini.
Tanpa pikir panjang lagi Pak Taryo menghampiri mereka yang hanya berjarak kurang dari tiga meter.
Kali ini, ketiganya mencoba mengambil posisi masing-masing untuk mengangkat tubuh Mona.
Percobaan pertama, gagal. Percobaan kedua pun masih saja gagal.
"Sekali lagi," ujar Fia, berusaha mengeluarkan seluruh tenaganya.
Nihil. Bahkan tubuh gadis itu tak berpindah sedikit pun dari tempat asalnya.
"Wah, ada yang ndak beres ini, Mbak. Ndak mungkin manusia biasa bisa seberat itu," kritik Pak Taryo.
Gemerincing bunyi kunci yang saling bertautan selalu terdengar setiap kali beliau menggerakkan badannya.
"Aneh," ujar Nana ngos-ngosan, berusaha mengatur napasnya yang seperti habis berlari kencang.
Begitu pula Fia. Sembari berkacak pinggang, ia mencoba menirukan Nana, mengatur napas yang mulai tak terkendali.
"Harus gimana?" tanya Fia dengan nada bicara naik-turun.
Langit kini sudah sepenuhnya gelap. Tak satupun jua penghuni kos lainnya berniat memberikan bantuan.
"Sekali lagi, mau?" ajak Fia pada Nana dan Pak Taryo yang mengiyakan dengan setengah hati.
"Hitungan ketiga, angkat, ya! Satu… dua… tiga... ,"
Tubuh Mona tetap menolak untuk di angkat.
Sedetik kemudian, Mona membuka matanya. Dalam posisi duduk ia bersandar pada tembok di dekatnya.
Fia membantunya, menopang badannya yang masih terasa sangat berat. Monalisa tak henti memandang ke arah Pak Taryo yang seolah salah tingkah.
Tatapannya begitu tajam dan penuh kebencian.
"Kamu jahat Mas Taryo!" teriak Mona. Lagi-lagi membuat kegaduhan di kos.
Mona masih memandangi lelaki paruh baya itu sambil menunjuk-nunjuk wajahnya yang kebingungan.
Tak kalah bingung dengan Fia dan Nana.
"Kamu bikin aku menderita, Mas, Taryo. Jahat pean, Mas," ujar Mona, seolah bukan dirinya.
Fia melepaskan pegangannya pada Mona, sedikit bergidik ngeri. Begitupun Nana yang langsung menghampiri Fia dan menariknya menjauh, sedikit berjarak dengan Mona.
"Salahku ki opo, Mas? Tega-teganya pean nglarani atiku,"
Sejak kapan Monalisa berbicara dalam bahasa Jawa? Bulu kuduk Fia berhasil bergidik ngeri menyaksikan hal tersebut.
Sedangkan lelaki yang jadi tertuduh itu hanya diam, mencoba mencerna kenyataan di hadapannya.
ARRRRGGGGHH…
Untuk kesekian kalinya Mona menjerit.
Kali ini, Bu Nensi, pemilik rumah kos pun ikut hadir atas laporan seseorang. Beliau membawa beberapa orang yang paham dengan hal-hal tak masuk akal ini.
"Fia, tolong. Selamatkan aku!" kali ini Mona berbicara dengan nada suara yang jauh berbeda. Menatap penuh arti pada Fia.
Fia tak mampu berkutik.
"Kamu hampir berhasil menyelamatkanku saat itu, Fiaaaa.. Toloong,"
Deg.
Fia dan Mona masing-masing kehilangan kesadarannya.
Pak Taryo tak mampu lagi mengelak. Seolah ada yang memaksanya untuk mengakui perbuatannya saat itu juga. Ia tertunduk lesu sembari menangis. Semakin menambah keresahan para penghuni kos lainnya.
"Maafkan aku, Ratih. Aku ndak sengaja melakukan itu," ujar Pak Taryo lirih.
Ketiga orang bawaan Bu Nensi langsung mengamankannya.
Beberapa orang lainnya menggotong Fia dan Mona ke dalam kamar Mona yang kental dengan aura magisnya pula.
Tak ada yang berani berlama-lama di sana. Hanya Nana yang kini melawan rasa takutnya demi menjaga Fia.
Sementara itu di luar kamar, Pak Taryo menceritakan sebuah rahasia kelam dirinya, yang hampir saja terbongkar akibat ulah Fia.
***
"Fia… Fi, kamu udah sadar," ujar Nana bersyukur.
Si pemilik kamar tersebut sudah sadar terlebih dahulu dan telah menjelaskan segala yang ia tahu pada Nana.
"Mbak Fia, ini minum dulu," Mona memberikan segelas minuman hangat padanya.
Dengan bantuan Nana, Fia bangun dan menyeruput sedikit minuman yang diracik sendiri oleh Mona.
"Apa ini?" tanya Fia merasa aneh dengan minumannya.
"Itu campuran jahe, bunga melati, dan minyak rahasia khas Kalimantan, Mbak. Biar bisa menghilangkan yang nempel-nempel di badan Mbak Fia," ujarnya.
Fia masih mencerna maksud perkataan Mona.
"Diminum, Mbak. Biar seger lagi. Nanti, lebam-lebamnya perlahan bakalan ilang,"
Fia segera mengamati sekujur tubuhnya yang baru ia sadari telah tergambar tanda-tanda khas dengan warna jingga dari kunyit.
"Fi, tadi goloknya beneran terbang," bisik Nana mengundang senyum pada Mona.
"Berarti Mbak Nana juga harus diobatin,"
"Eh, mmmm, iya deh, daripada aneh-aneh lagi nanti," ucapnya pasrah.
"Ada apa sebenernya?" tanya Fia yang masih kebingungan.
"Mbak Fia pernah nemuin kotak kayu yang terbungkus kain merah, dikubur di halaman kos depan?" tanya Mona, membuat Fia kembali merangkai-rangkai ingatannya.
"Ah! Seminggu yang lalu, waktu mau berkebun, aku nemuin kotak itu. Apa itu?"
"Itu yang bikin Mbak Fia diganggu. Termasuk lebam-lebam itu,"
"Maksudnya?"
"Pak Taryo udah mengakui tadi, dulu dia pernah suka sama salah satu anak kos di sini. Dulu, udah lama banget," jelas Mona.
Fia mendengarkan dengan serius.
"Namanya Ratih. Dia nggak suka. Lalu entah gimana, Pak Taryo melet dia. Kotak kayu dengan bungkusan kain merah itu, isinya foto dan beberapa benda pribadi milik Ratih,"
"Astagfirullah…"
"Ratih yang tergila-gila sama Pak Taryo lalu dinodai sama Pak Taryo. Karena takut ketahuan dan nggak mau tanggung jawab, dia khilaf… Mayat Ratih dibuang ke hutan,"
"Hmmm, lalu, sekarang?"
"Pak Taryo udah diamankan polisi,"
"Terus, apa hubungannya sama kamu? Aku?"
"Pak Taryo takut kamu ngebongkar semua aib dia. Lalu, dia sengaja minta orang buat ganggu kamu, gitu, Mbak,"
"Kok kamu bisa tau?"
"Sejak awal aku udah tau. Tapi orang-orang justru mikir kalo aku aneh, kan?" Mona melirik pada Nana yang tersipu.
"Trus kenapa kamu teriak-teriak tadi?" di dalam otak Fia masih terlalu banyak pertanyaan yang berkecamuk.
"Berantem,"
"Buset," sahut Nana mengerti arah pembicaraannya.
"Sini, mbak. Giliran Mbak Nana," ujar Mona yang sudah menyiapkan beberapa peralatan.
Dengan takut-takut, Nana mendekatinya.
"Duduk, santai aja, ya," pinta Mona sembari menyalakan bebakaran di dalam sebuah tungku khusus. Bau wewangian aneh langsung menyeruak ke seluruh ruangan.
(Sumber : pixabay.com)"Mbak Fia, apapun yang mbak lihat, cukup diam aja, ya. Jangan teriak, jangan ditahan, jangan dilawan. Diam,"
"O-oke," ucapnya tergagap.
Monalisa kembali memulai ritualnya pada Nana. Menumbuk halus potongan kunyit, kapur sirih serta daun bidara.
Fia melihatnya merapalkan doa-doa, lalu mengoles beberapa bagian tubuh Nana dengan tumbukan kunyit tadi. Terutama pada bagian telapak tangan dan kaki.
Akhirnya, Fia dapat menyaksikan secara langsung sebuah golok yang tiba-tiba melayang di udara begitu saja.
"Hah? Kok, bisa lihat lagi? Berarti aku?"
----- TAMAT -----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar