"Mbak Fia bisa lihat," ujar Mona yakin, sekali lagi menyuapkan sekuntum kembang melati ke arah mulutnya.
"Maksudnya?"
"Mbak, harusnya mbak Fia juga diobatin. Coba deh liat lebam-lebamnya," ujar Mona yakin.
"Loh, kok kamu tau?" terbesit perasaan heran sekaligus takut pada gadis di hadapannya saat itu.
"Nggak ada yang bisa liat keanehan saat proses ritual, kecuali dia yang juga sedang 'sakit', Mbak," jelas Mona.
"Sakit, sakit gimana maksudnya?"
"Nggak mungkin tiba-tiba ada lebam di sekujur tubuh, kalau nggak ada sebabnya. Mbak Fia habis jatuh?"
"Nggak,"
"Dipukulin pacar?"
"Nggak, lah,"
"Lalu, lebamnya kenapa?"
"Y-yaa, aku juga bingung kenapa. Tiba-tiba aja bangun tidur udah begini," jelas Fia.
Banyak mata memerhatikan mereka dari kejauhan. Terlalu takut untuk mendekat, namun terlalu penasaran untuk menjauh.
"Pasti gegara nolak oleh-oleh dari kamu lah, Mon," Nana mulai memberanikan diri menimpali.
"Oleh-oleh?" Mona seolah tak paham.
"Kue," balas Fia, tak mau langsung mengambil kesimpulan.
"Hah? Wadai lapat itu?" Mona kembali bertanya, raut wajahnya melukiskan kebingungan yang besar.
"Iya, pasti, kan?" ujar Nana yakin.
"Iya kan, Fi? 4 hari berturut-turut setelahnya, Fia selalu dapet gangguan aneh. Nggak biasanya juga kosan kita jadi menyeramkan kayak gini," celoteh Nana meminta pembenaran dari Fia yang memilih diam.
"Mmm, apa hubungannya sama oleh-oleh yang aku bawa, Mbak?" ujar Mona tak terima.
Nana melirik Fia, menandakan ingin meminta bantuannya. Namun Fia tetap hanya mematung. Dalam benaknya, ia sedang mencerna tiap-tiap kejadian yang ia alami beberapa hari belakangan.
"Fi," teriak Nana berusaha mengembalikan kesadaran Fia yang justru terlihat seperti melamun.
Fia tetap melamun. Matanya tak terpejam, hanya saja ia seolah mematung tanpa pergerakan sedikit pun.
"Fi, Fia!" Nana mulai ketakutan. Diguncang-guncangkannya perlahan kedua bahu kawannya itu.
Seketika itu pula Fia seolah tersadar, lemas. Nana dan Mona langsung sigap menangkapnya.
"Fi, kamu kenapa?" Nana kebingungan melihat keadaan Fia yang begitu lemah.
Banyak mata memandang, namun tak satupun mereka yang datang membantu.
Keanehan semakin bertambah saat kejadian serupa beralih pada Mona. Seolah penyakit menular, Mona menatap Fia dengan tatapan kosong dalam beberapa detik. Lalu jatuh, tersungkur di lantai.
Nana tak cukup berani bahkan untuk memegangnya saja.
Fia, yang mulai mendapatkan kesadarannya secara penuh, perlahan melihat keadaan Mona.
"Pingsan," ujarnya.
"Ayo dong, ini nggak ada yang mau bantuin?" Fia berteriak kesal melihat para penghuni kos yang seolah tak punya rasa iba pada Mona yang tersungkur di lantai.
Fia berusaha mengangkatnya seorang diri. Berat sekali.
"Na, ayo. Kamu juga nggak mau bantu?" tanya Fia pada kawannya yang hanya diam memandangi.
"Ta-tapi, Fi…"
"Udah, nggak usah takut. Kasian ini. Ayo bantu angkat ke kamarnya,"
"Ke kamarnya, Fi?" Nana mengernyitkan dahi, tak ingin mendapati kenyataan bahwa dirinya mau tak mau harus memasuki kamar yang dianggapnya mengerikan itu.
"Ayo, Na!"
Benar saja, Nana tak mampu menolak. Ia membantu Fia untuk mencoba membopong badan Mona ke dalam kamar.
Untuk ukuran gadis sekurus Mona, berat yang dirasakan Fia dan Nana sungguh tidak masuk akal. Berkali-kali lipat berat normal manusia.
Keduanya tak berhasil mengangkat tubuh Mona yang masih terkapar di lantai.
"Serius ini, manusia sebanyak ini nggak ada yang mau bantu satu pun?" lagi-lagi Fia berteriak marah pada penghuni lain yang hanya menyaksikan dari jendela kamar masing-masing.
Meskipun berusaha ditutup-tutupi, namun terlihat cukup jelas bahwa mereka masih saja mengamati.
"Pak, ayo bantu. Kok juga diem aja dari tadi?" Kini Fia beralih pada Pak Taryo yang hanya diam mengamati, ia berdiri di anak tangga sejak tadi. Gantungan dengan beberapa kunci pun masih digenggamnya erat.
----- BERSAMBUNG -----
masih menunggu next episode kak ^^ semangattt!
BalasHapus❤❤
Hapus