Sembuh dengan menulis? Mmm, jadi kepikiran mau bahas ini gegara abis nyimak materi malam ini. Sebelumnya emang sempat beberapa kali dapet materi tentang self healing dengan menulis di beberapa kelas menulis yang pernah aku ikutin. Menulis adalah salah satu cara buat menyembuhkan trauma. Menulis dapat menuangkan energi negatif dalam sebuah karya, kemudian menyembuhkan diri dari luka mendalam. Apa iya?
Teorinya sih gitu yang aku dapat. Kalau dengar dan nyimak kisah dari orang-orang, emang benar, menulis membuat mereka sembuh dari bayangan kelam masa lalunya. Yang aku rasain sih, menulis emang bisa menuangkan energi negatif. Itu sangat benar. Menjaga kewarasan pastinya. Sebagai ibu rumah tangga yang mengurus dua bocah + tinggal di perantauan, bagiku menulis adalah sebuah me time yang cukup menenangkan. Murah, mudah, kurang apalagi? Kalo aku sih cuma kurang bisa membagi waktu, halah.
Dalam materi yang disampaikan sama Kak Flo tadi, emang disinggung bahwa kalo big why kita menulis itu adalah buat self healing, maka tulisannya bisa disimpan aja buat arsip pribadi. Nah, yang jadi agak kurang pas di pikiranku adalah, gimana sih misalnya nih, kita berniat menulis untuk menyembuhkan luka dan menuangkannya ke dalam sebuah karya. Buku solo misalnya. Oke setelah menulis, perasaan luka itu sedikit terobati. Lalu, apakah perasaan 'kurang senang' lainnya bakalan muncul nih kalau seandainya karya yang kita hasilkan tadi tidak diterima atau bahkan tidak dihargai oleh orang lain? Ibaratnya kayak menutup satu koreng, tapi justru bikin koreng baru. Ah, apasih perumpamaannya. 😅
Nggak tau kenapa tiba-tiba bisa kepikiran ke situ. Cuma, beneran deh, ini membuatku resah. Kalau nggak aku ungkapin ke dalam sebuah tulisan, ini bakalan mengganggu tidur malamku. Masa iya sih, ada orang yang hatinya kuat kalau tau ada yang nggak nerima dan menghargai karyanya? Apalagi kan, sebelumnya dia punya traumatis yang ingin disembuhkan. Apa nggak kepancing bakal kumat lagi gitu kalau ada luka baru. Duh, kenapa aku jadi mikirin ini banget sih? Haha. Iya sih. Namanya juga hidup. Mau sebaik apapun, tetap bakal ada cacatnya di mata manusia lain.
Aku nggak tau apa ada kasus yang kayak gini beneran atau cuma dalam pikiranku doang. Tapi kalau bener ada yang kayak gini, mungkin ada yang salah sama niat menulisnya kali ya. Atau, dia terlalu memasang ekspektasi yang tinggi. Atau bisa jadi, rasa empati dan kemanusiaan manusia jaman sekarang emang sulit ditemui? Entahlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar