"Apa?"
Fia berjalan menghampiri Nana yang ketakutan.
"Kenapa, sih?" tanya Fia lagi, heran melihat tingkah kawannya itu.
"Anak baru di samping kamarmu itu, siapa namanya,"
"Mona,"
"Sssst,, iya, Mona," sambung Nana penuh semangat, namun dengan setengah berbisik.
"Duh, kamu harus lebih hati-hati lagi, Fi, sama dia. Serem anaknya, kemarin pas Lara lewat depan kamarnya, dia nyium bau-bau kemenyan. Dan dia liat sendiri dong si Mona makan kembang melati, hiiiii," Nana bergidik ngeri.
Ucapannya mengingatkan Fia pada sore hari yang lalu. Hari dimana ia membukakan pintu gerbang untuk Mona.
"Makan kembang?" Fia bertanya sambil pikirannya masih mengawang-awang.
Nana mengangguk kencang, "Kemarin, kan, dia bawain oleh-oleh gitu. Katanya dari Kalimantan, kue apa ya namanya, lupa,"
"Lapat," sambung Fia, mengingat pula kejadian itu.
"Nah, bener. Lapat. Kamu cobain kuenya, Fi?" Nana menanyakan masih dengan bersemangat.
Fia menggeleng. Disambut dengan pekikan kencang namun tertahan, oleh Nana.
"Fiaaaaa, serius kamu nggak cicipin? Megang juga nggak?"
"No. Emang kenapa?"
"Pantesan dari 4 hari yang lalu kamu diganggu terus, kan?" Nana menyimpulkan kejadian ini dengan telepon tengah malam Fia empat hari belakangan.
Fia mematung. Mencoba mencerna keterkaitan antara kue lapat yang ditolaknya, dengan gangguan-gangguan aneh yang selama empat hari ini cukup mengganggunya.
"Nggak ada hubungannya, Na. Dah lah, udah buru-buru, nih! Daaaah," Fia berlalu. Tak dipedulikannya teriakan Nana memanggil.
Baginya, hal yang diutarakan Nana sangat tidak masuk akal. Fia menolak bahwa kegiatan memakan kembang pada Mona adalah hal yang aneh. Atau, entahlah. Tapi ia yakin, tak ada kaitannya dengan keanehan yang ia rasakan akhir-akhir ini.
-----
Hampir dua jam Fia berada di ruangan dosen pembimbing. Jangan ditanya, seberapa tebal coret-coretan yang dihadiahkan dosennya kepada Fia.
Ia duduk di sebuah bangku kosong di dalam Perpustakaan Universitas, lalu langsung menekuni laptopnya. Sekilas, ia mendapati Mona di dalam perpustakaan yang sama, sedang sibuk menimbang-nimbang dua buah buku.
Fia mengurungkan niatnya untuk menghampiri gadis itu setelah ia mengingat kembali perkataan Nana tadi siang. Jemarinya langsung berlompatan pada keyboard di laptopnya. Menelusuri tentang kue lapat.
Pencarian teratas yang muncul adalah mengenai mitos seputar wadai Banjar.
Wadai, atau kue lapat yang disuguhkan Mona pada kawan-kawan satu kosnya yang lalu adalah kudapan yang terbuat dari ketan, santan, dengan isian kacang merah. Persis dengan jajanan pasar, lepet jika di Surabaya.
(Sumber : food.detik.com)Fia mengingat-ingat kembali bentuk kue tersebut, mencocokkannya pada gambar yang dimaksud. Klop! Kue yang terbalut daun nipah atau daun pandan besar yang ia telusuri saat itu persis seperti oleh-oleh yang dibawakan Mona. Pun serupa dengan kue lepet yang selama ini ia kenal.
Mungkin, yang membedakannya adalah mitos yang dibawanya. Menurut kepercayaan di Kalimantan, unsur ketan di dalam wadai lapat ini mengandung pamali yang besar. Jika ada seseorang yang menolak mencicipi saat ditawari, bisa terkena sial seperti kecelakaan atau luka. sana, pamali ini dikenal juga dengan nama kapuhunan.
Fia tercekat, mengetahui fakta yang baru saja ia dapat. Benarkah?
Ditariknya sedikit lengan baju panjang yang menutupi lebam di bagian tangannya. Apa benar luka itu akibat dari dirinya yang menolak saat ditawari wadai lapat?
Pandangannya beralih dari lebam di tangan, kemudian pada Mona yang masih belum beranjak dari tempat tadi.
Sulit baginya untuk mempercayai hal demikian. Tapi, kalau bukan gara-gara itu, lalu kenapa banyak lebam berwarna biru keunguan pada hampir sekujur tubuhnya?
Fia melupakan revisinya. Beralih penasaran pada apa yang menimpa dirinya saat itu. Apa mungkin, bisa muncul luka lebam secara tiba-tiba saja di sekujur tubuh?
----- BERSAMBUNG -----
keren ka, masih setia menunggu kelanjutan ceritanya..
BalasHapus❤❤ terimakasiih
Hapus